Jendela yang saat ini kupandangi mungkin takkan berubah menjadi sosok yang sudah dua minggu ini aku rindukan. Di depanku kini, masih terpampang surat elektronik yang Ia kirimkan sejak enam bulan lalu. Pesan terakhir yang hingga saat ini belum–mungkin bisa jadi tidak–ada lanjutan darinya. Aku pikir mungkin Ia sedang berkutat dengan urusannya di sana, tetapi apakah Ia tidak ada sedetik pun untuk sekadar mengirim surel yang telah menjadi rutinitasnya sejak enam bulan terakhir itu. Aku pikir mungkin Ia menjadi bagian penting di lingkungan barunya, yang bisa membuatnya lupa akan lingkungan lamanya. Aku pikir mungkin Ia telah menemukan perempuan yang jauh lebih beruntung takdirnya daripada aku yang masih terkekang akan ketakutan-ketakutan yang kaitannya dengan masa depan. Aku pikir mungkin Ia memang sengaja untuk berniat menjauh dari perempuan malang yang tidak tahu rasa syukur, semacam aku. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang saling berteriak mengganggu pikiranku saat ini.
Enam bulan yang lalu, kami berdua sepakat untuk mengakhiri hubungan sehat ini yang terjalin di masa-masa kuliah. Di masa-masa yang seharusnya aku lebih fokus untuk menempuh pendidikan sarjanaku ini. Namun, laki-laki asal Jakarta itu yang memperlakukanku dengan istimewa bagai ratu, hingga menjadikanku terjebak akan perasaan bersalah yang seharusnya tak muncul di saat-saat seperti ini. Perasaan menyesal yang tak ada hentinya datang, perasaan ingin memilikinya kembali yang kian menyerang, bahkan perasaan gila yang terus menerus ingin menang. Aku benci mengakui jika aku saat ini ingin memutar masa-masa indah itu, dimana aku menjadi orang yang paling bodoh sekaligus buta akan perasaanku sendiri. Masih kuingat betul, janjinya terhadapku. Janji untuk terus menuntunku agar kembali mau membuka diri. Namun, rupanya janji itu datang dengan terlambat. Di saat-saat yang harmonis, aku justru belum bisa menerima kehadirannya yang bagaikan bunga sedap malam itu. Dan jika mungkin aku dapat diibaratkan bagaikan bunga bangkai di tengah-tengah rangkaian bunga sedap malam.
Kemudian kupaksa lagi otakku untuk bernostalgia akan ciuman pertama kami di depan taman komplek perumahanku. Masih kuingat jelas bagaimana cara manik matanya yang tak kunjung lepas menatapku. Masih kuingat jelas cara dia menjelaskan kepadaku bagaimana cara cinta bekerja. “Nggak semua hal indah yang akan terus mendampingi kita, ada banyak cara semesta bekerja untuk memisahkan kita. Tapi ada banyak cara juga untuk kita mempertahankan keutuhan-keutuhan tersebut,” ucapnya yang hingga saat ini masih kupertanyakan atas jawaban benarnya. Lantas apa arti ucapannya yang pada saat ini jelas tidak terbukti dengan benar.
“Mungkin kita emang nggak ditadirkan bersama di masa depan, tapi seenggaknya kita tahu gimana kita hadapin ini bareng-bareng, gimana kita menyelesaikan apa yang kita mulai.” Kalimat demi kalimat yang diusahakannya untuk meyakinkanku. Kalimat demi kalimat yang selalu menjawab atas keraguanku. Kalimat demi kalimat yang Ia ciptakan untuk membujukku hingga perasaan bersalah yang kini menghantui. “Nggak papa kita nggak berakhir di epilog, seenggaknya aku pernah muncul di bagian prolog dimana tokoh utama dari buku tersebut adalah kamu.” Kalimat persuasifnya yang terakhir yang akhirnya berhasil membawaku kepada perasaan menyesal ini.
Berbicara tentang kisah kami, aku menandai dengan spidol merah pada buku tebal yang masih terus berlanjut akan kisah-kisah menyedihkan–buku tebal yang masih belum diketahui isi epilog yang sesungguhnya. Dengan begitu, aku dengan mudahnya untuk membaca kembali bagian-bagian penting di masa-masa romantisme buku tersebut. Kalau dibayangkan akan sedikit terkoyak atas rasa gelitik yang berasal dari kupu-kupu pada perut. Hal inilah ulah dari seorang laki-laki yang sungguh aku kagumi. Keberaniannya, kegigihannya, ketangguhannya, serta kebijaksanaannya yang benar-benar membuatku tak tega menolak. Usaha yang Ia tunjukkan benar-benar nyata. Namun, hal ini yang akhirnya menyudutkanku sebagai orang paling jahat di hidupnya. Padahal aku tak bermaksud untuk mengakhiri hubungan dengan pilihan paling buruk ini. Aku hanya mengutarakan yang aku mau–atau aku hanya bersikap egois yang aku mau?
“Nggak ada yang bisa nentuin pilihan hidupnya mau berakhir seperti apa, tapi dia masih ada usaha untuk itu.” Ucapnya saat aku bercerita akan ketakutan-ketakutan yang tak mau hilang itu. Mungkin hidupku tanpanya hanyalah sekadar lembar kosong belum tersentuh tinta manapun. Setiap kalimat yang datang dari mulutnya tak pernah sekalipun membuatku merasa kecil. Aku sangat mengaguminya. Hubungan sehat itu selalu membawa pengaruh positif atas kegiatan-kegiatan perkuliahanku. Ia yang selalu support dan selalu mencintai apapun hasil kerja kerasku, membuatku menjadi orang yang paling dihargai di dunia ini. Hal kecil sekalipun, Ia tetap menaruh rasa bangga terhadapku.
Hingga kemudian, setahun penuh rasa bunga-bunga di taman akhirnya gugur dalam sehari setelah pengumuman penerimaan staff di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Laki-laki di depanku kala itu membawa layar laptopnya dengan wajah penuh sumringah. Seolah-olah kabar baik ini juga sama menular bahagianya kepadaku. Tak mau mengecewakan, aku berangsur memeluk tubuhnya untuk merayakan kemenangan miliknya hari ini. “Selamat ya atas kerja kerasmu. Akhirnya usaha kamu membuahkan apa yang kamu inginkan selama ini. Selamat juga atas kerja kerasmu selama setahun ini yang membuat aku selalu bahagia di atas kebahagiaan kamu sendiri. Selamat juga, akhirnya kamu ada alasan untuk pulang. Maaf aku gak bisa ikut untuk chapter-chapter selanjutnya.”
Kecewa sudah dia. Pundaknya ikut melemas setelah mencerna atas kalimat terakhirku. “Kenapa?” ucapnya tanpa mengingat risiko yang pernah kuucapkan pada bagian prolog buku tebal itu. “Aku bukan perempuan yang punya takdir beruntung untuk ikutin kamu. Aku masih punya ketakutan yang nggak berdasar, dan mentalku selalu naik turun saat hadapin kamu. Bahkan orangtuaku juga nggak sehebat orangtuamu yang berhasil mendidik anaknya. Dan satu hal yang kamu harus tahu, aku masih belum ada perasaan cinta yang tumbuh sedikitpun. Aku kira aku bisa nerapin let love grow ketika setahun aku bareng kamu. Tapi aku belum bisa kasih itu, Dam!” Di parkiran mobil kampus aku berkata demi kata, dengan usaha untuk tetap tegar. Terdengar menyakitkan ketika kalimat itu keluar dari lisanku. Seharusnya aku tahan lebih lama lagi untuk mengucapkan itu–atau aku hanya menempatkan pada moment yang tepat?
Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satu pun dari kami yang mengucapkan satu kata sekalipun. Aku tahu mungkin Ia sedang memproses makna kata demi kata yang barusan kukatakan, tanpa harus meninggikan egonya kala itu. Jika keadaan dalam mobil hening, maka kubiarkan playlist spotify yang Ia buatkan untukku menyala, mengisi suhu ruangan yang tiba-tiba mendingin. Lagu Cornelia Street milik Taylor Swift yang menggema indah selama perjalanan pulang kurang lebih tiga puluh menit. I hope never lose you, Hope it never ends. Lirik yang tanpa sadar menjadi kutipan favorit pada malam itu. “Lagunya kayak nampar kamu ya?” ucapnya tiba-tiba saat berada di ujung gang komplek perumahan. Aku menoleh, ternyata bulir bening tak hanya jatuh pada langit malam itu, tetapi juga jatuh dari kedua maniknya.
“Dam, jadi aku juga nggak gampang. Aku harus nelan kenyataan bahwa aku dibesarkan oleh single parent tanpa bantuan seorang bapak. Rumah hancur yang masih belum aku terima hingga saat ini, terus menghantui setiap aku ingin naruh rasa ke kamu. Semuanya terlihat abu-abu saat kontruksi-kontruksi indah itu rubuh. Aku cuma pengen ada yang menuntun, bukan hanya sekadar digambar secara luaran saja. Kamu tahu sendiri kan, aku dari awal udah bilang kalau aku belum siap sama sekali dengan namanya memulai sebuah hubungan. Tapi, aku lihat lagi. Aku lihat semuanya dengan kegigihan kamu yang nggak bisa bikin aku nolak sekalipun. Walaupun rasanya aku masih belum bisa percaya ke kamu secara seratus persen.”
Ia kira selama setahun itu, usahanya untuk menarikku dari rasa takut yang saling bersahutan di kepalaku ini membuahkan hasil. Namun, kala itu Ia sedang berhadapan dengan perempuan yang keras kepala tanpa memperhatikan perasaan orang lain sekalipun. Perempuan yang mempunyai rencana gila tanpa adanya keingin untuk menerima bantuan orang lain. Perempuan berkepala egois tanpa mau mendengarkan rencana serta perasaan orang lain. Perempuan yang kala itu hanya mau menghadap jendela mobil dan menatap jalanan perumahan yang menjadi saksi bisu isi prolog dan epilog pada kisah cerita ini. Jalanan yang melihat dan mendengar kalimat cinta maupun kalimat perpisahan.
“Okay,” setelah hening cukup lama, Damara berucap kata yang tiba-tiba rasa sesak ikut hadir dalam percakapan itu.
“Aku bisa ambil keputusannya sekarang.” Lanjutnya.
“Aku bisa terima alasan kamu, aku sangat menghargai keputusan kamu. Aku pulang sesuai apa yang kamu mau. Aku nggak papa dengan pilihan sekarang. Jangan pernah lupa kebahagiaan yang sudah kamu tentukan. Jangan takut untuk ambil semua langkah yang kamu mau. Aku percaya itu pasti yang terbaik versi kamu. Aku percaya dengan pilihan-pilihan kamu, jangan lupa untuk tetap tanggungjawab apa yang sudah kamu bulatkan. Makasih banyak atas cerita-cerita yang sebelumnya kamu isi sebagai tokohnya. I loved you, Kanaya!” Ia merengkuh tubuhku yang kala itu malu harus kembali merengkuhnya atau tidak. Ucapannya yang tak pernah diiringi rasa emosi sekalipun, tetap membuatku merasa bersalah atas keputusan egoku.
Kembali dengan kehidupanku sekarang, aku mendapatkan notifikasi surel. Ternyata dari kantorku yang menempatkanku pada posisi marketing analytics, yang mengharuskanku untuk membaca dari hasil penjualan produk pada projek kali ini. Lamunanku akan masa-masa kuliah terhenti begitu saja, dan meneruskan kerjaan kantorku yang tak kunjung selesai. Selesai sudah chapter-chapter romantisme pada buku tebal ini. Hingga kemudian akan bertemu dengan chapter-chapter proses adulting versi aku. Maaf jika bagian rumpang itu tak seindah harapan.
Sebelum aku benar-benar menutup website berisi barisan-barisan surat elektronik ini, aku kembali membuka isi surel yang Ia kirimkan. Membaca setiap kalimat demi kalimat yang mungkin tak bisa mengubah keadaan sekalipun. Paragraf pertama yang membuatku tak sanggup lagi meneruskan tuk kubaca. “You say it’s over. But for me, it isn’t over. You always be my heart. Always. When you sang the Cornelia Street song to me at the last stop we met. I hope i’d never walk our Cornelia Street again when i miss you, Nay.”